PSIKOLOGI PERSEPSI
Psikologi
Persepsi dan Desain Komunikasi Visual
Desain Komunikasi Visual bisa dikatakan
adalah seni menyampaikan pesan (arts of commmunication) dengan
menggunakan bahasa rupa (visual language) yang disampaikan melalui media
berupa desain. Dengan tujuan menginformasikan, mempengaruhi hingga merubah
perilaku target audience sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Bahasa
rupa yang dipakai berbentuk grafis, tanda, simbol, ilustrasi gambar/foto,
tipografi/huruf dan sebagainya yang disusun berdasarkan khaidah bahasa visual
yang khas. Isi pesan diungkapkan secara kreatif dan
komunikatif serta mengandung solusi untuk permasalahan yang hendak
disampaikan (sosial maupun komersial ataupun berupa informasi, identifikasi
maupun persuasi).
Psikologi
Psikologi atau psychology secara etimologi atau asal-usul kata berasal
dari kata psycho, yang berasal dari bahasa Yunani psukhē yang
artinya pikiran, jiwa (mind). Sementara -logy sendiri berarti
ilmu, jadi artinya adalah ilmu yang mempelajari jiwa dan pikiran.
Psikologi adalah sebuah disiplin ilmu yang bersifat
akademis dan terapan yang melingkupi studi mengenai proses mental dan perilaku.
Bidang yang dipelajari oleh para psikolog adalah perihal persepsi, kognisi
(proses penyerapan pengetahuan), emosi, kepribadian dan hubungan interpersonal.
Psikologi juga dikenal akan terapan pada aktivitas kehidupan manusia sehari-hari
seperti: keluarga, pendidikan dan pekerjaan, juga perlakuan terhadap
permasalahan kejiwaan manusia. Beberapa sub bidang psikologi diantaranya
psikologi pengembangan sumber daya manusia, psikologi olahraga, psikologi
kesehatan, psikologi industri, psikologi media dan psikologi hukum.
Psikologi Persepsi
Dalam psikologi, persepsi visual adalah kemampuan manusia untuk
menginterpretasikan informasi yang ditangkap oleh mata. Hasil dari persepsi ini
disebut sebagai penglihatan (eyesight, sight atau vision).
Unsur-unsur ragam psikologi dalam penglihatan secara umum terangkum dalam
sistem visual (visual system). Sistem visual pada manusia memungkinkan
untuk beradaptasi dengan informasi dari lingkungannya.
Masalah utama dari persepsi visual ini tidak semata-mata apa yang dilihat
manusia melalui retina matanya. Namun lebih daripada itu adalah bagaimana
menjelaskan persepsi dari apa yang benar-benar manusia lihat.
Peranan Psikologi Persepsi dalam Desain
Komunikasi Visual
Bahwa ada faktor untuk harus menyampaikan suatu pesan yang
sifatnya persuasif, maka peranan psikologi persepsi sangat dibutuhkan di sini.
Sebagai penyampai pesan kita harus memahami keadaan dan sifat-sifat dari
sasaran kita (target audience). Dengan kita memahami apa, siapa dan
bagaimana dari sasaran kita. Sehingga semua apa yang kita sampaikan akan
mengena dan efisien. Sebuah pesan akan percuma jika tidak dipahami oleh
penerimanya. Bila kita bicara dengan perbandingan biaya yang kita keluarkan,
maka hal tersebut sama saja dengan pemborosan. Dengan demikian sebelum kita melakukan penyampaian pesan, kita harus pahami
dulu sasaran kita. Setelah itu baru menentukan bagaimana pesan tersebut
disampaikan
Aliran - aliran psikologi
A. Behaviourisme
Aliran ini sering dikaitkan sebagai aliran ilmu jiwa namun tidak peduli
pada jiwa. Pada akhir abad ke-19, Ivan Petrovic Pavlov memulai eksperimen
psikologi yang mencapai puncaknya pada tahun 1940 – 1950-an. Di sini psikologi
didefinisikan sebagai sains dan sementara sains hanya berhubungan dengan
sesuatu yang dapat dilihat dan diamati saja. Sedangkan ‘jiwa’ tidak bisa
diamati, maka tidak digolongkan ke dalam psikologi.
Aliran ini memandang manusia sebagai mesin (homo mechanicus) yang
dapat dikendalikan perilakunya melalui suatu pelaziman (conditioning).
Sikap yang diinginkan dilatih terus-menerus sehingga menimbulkan maladaptive
behaviour atau perilaku menyimpang. Salah satu contoh adalah ketika Pavlov
melakukan eksperimen terhadap seekor anjing. Di depan anjing eksperimennya yang
lapar, Pavlov menyalakan lampu. Anjing tersebut tidak mengeluarkan air liurnya.
Kemudian sepotong daging ditaruh dihadapannya dan anjing tersebut terbit air
liurnya. Selanjutnya begitu terus setiap kali lampu dinyalakan maka daging
disajikan. Begitu hingga beberapa kali percobaan, sehingga setiap kali lampu
dinyalakan maka anjing tersebut terbit air liurnya meski daging tidak
disajikan. Dalam hal ini air liur anjing menjadi conditioned
response dan cahaya lampu menjadi conditioned stimulus.
Percobaan yang hampir sama dilakukan terhadap seorang anak berumur 11 bulan
dengan seekor tikus putih. Setiap kali si anak akan memegang tikus putih maka
dipukullah sebatang besi dengan sangat keras sehingga membuat si anak kaget.
Begitu percobaan ini diulang terus menerus sehingga pada taraf tertentu maka si
anak akan menangis begitu hanya melihat tikus putih tersebut. Bahkan setelah
itu dia menjadi takut dengan segala sesuatu yang berbulu: kelinci, anjing, baju
berbulu dan topeng Sinterklas.
Ini yang dinamakan pelaziman dan untuk mengobatinya kita bisa melakukan apa
yang disebut sebagai kontrapelaziman (counterconditioning).
B. Psikoanalisis
Aliran behaviourisme dianggap gagal karena tidak memperhitungkan faktor
kesadaran manusia. Aliran behaviourisme tidak memperhitungkan faktor pengalaman
subjektif masing-masing individu (cinta, keberanian, keimanan, harapan dan
putus asa). Jadi aliran ini gagal memperhitungkan kesadaran manusia dan
motif-motif tidak sadarnya.
Kemudian muncullah
aliran berikut: psikoanalisis. Psikoanalisis disebut sebagai depth
psychology yang mencoba mencari sebab-sebab perilaku manusia pada alam
tidak sadarnya. Tokoh dari aliran ini adalah Sigmund Freud seorang neurolog
berasal dari Wina, Austria akhir abad ke-19. Aliran ini berpendapat bahwa
manusia adalah makhluk yang berkeinginan (homo volens).
Dalam pandangan Freud, semua perilaku manusia baik yang nampak
(gerakan otot) maupun yang tersembunyi (pikiran) adalah disebabkan oleh
peristiwa mental sebelumnya. Terdapat peristiwa mental yang kita sadari dan
tidak kita sadari namun bisa kita akses (preconscious) dan ada yang
sulit kita bawa ke alam tidak sadar (unconscious). Di alam tidak sadar
inilah tinggal dua struktur mental yang ibarat gunung es dari kepribadian kita,
yaitu:
a.
Id, adalah berisi energi psikis, yang hanya memikirkan kesenangan semata.
b.
Superego, adalah berisi kaidah moral dan nilai-nilai sosial yang diserap individu
dari lingkungannya.
c.
Ego, adalah pengawas realitas.
Sebagai contoh adalah berikut ini: Anda adalah seorang bendahara yang
diserahi mengelola uang sebesar 1 miliar Rupiah tunai. Id mengatakan pada Anda: “Pakai saja uang
itu sebagian, toh tak ada yang tahu!”. Sedangkan ego berkata:”Cek dulu,
jangan-jangan nanti ada yang tahu!”. Sementara superego menegur:”Jangan
lakukan!”.
Pada masa kanak-kanak kira dikendalikan sepenuhnya oleh id, dan pada
tahap ini oleh Freud disebut sebagai primary process thinking. Anak-anak
akan mencari pengganti jika tidak menemukan yang dapat memuaskan kebutuhannya
(bayi akan mengisap jempolnya jika tidak mendapat dot misalnya).
Sedangkan ego akan lebih berkembang pada masa kanak-kanak yang lebih
tua dan pada orang dewasa. Di sini disebut sebagai tahap secondary process
thinking. Manusia sudah dapat menangguhkan pemuasan keinginannya (sikap
untuk memilih tidak jajan demi ingin menabung misalnya). Walau begitu
kadangkala pada orang dewasa muncul sikap seperti primary process thnking,
yaitu mencari pengganti pemuas keinginan (menendang tong sampah karena merasa
jengkel akibat dimarahi bos di kantor misalnya).
Proses pertama adalah apa yang dinamakan EQ (emotional quotient),
sedangkan proses kedua adalah IQ (intelligence quotient) dan proses
ketiga adalah SQ (spiritual quotient).
C. Psikologi Humanistis
Aliran ini muncul akibat reaksi atas aliran behaviourisme dan psikoanalisis.
Kedua aliran ini dianggap merendahkan manusia menjadi sekelas mesin atau
makhluk yang rendah.
Salah satu tokoh dari aliran ini – Abraham Maslow – mengkritik Freud dengan
mengatakan bahwa Freud hanya meneliti mengapa setengah jiwa itu sakit, bukannya
meneliti mengapa setengah jiwa yang lainnya bisa tetap sehat.
Adalah Viktor Frankl yang mengembangkan teknik psikoterapi yang disebut
sebagai logotherapy (logos = makna). Pandangan ini berprinsip:
a.
Hidup memiliki makna, bahkan dalam
situasi yang paling menyedihkan sekalipun.
b.
Tujuan hidup kita yang utama adalah
mencari makna dari kehidupan kita itu sendiri.
c.
Kita memiliki kebebasan untuk memaknai
apa yang kita lakukan dan apa yang kita alami bahkan dalam menghadapi
kesengsaraan sekalipun.
Frankl mengembangkan teknik ini berdasarkan pengalamannya lolos dari kamp
konsentrasi Nazi pada masa Perang Dunia II, di mana dia mengalami dan
menyaksikan penyiksaan-penyiksaan di kamp tersebut. Dia menyaksikan dua hal
yang berbeda, yaitu para tahanan yang putus asa dan para tahanan yang memiliki
kesabaran luar biasa serta daya hidup yang perkasa. Frankl menyebut hal ini
sebagai kebebasan seseorang memberi makna pada hidupnya.
Logoterapi ini sangat erat kaitannya dengan SQ tadi, yang bisa kita
kelompokkan berdasarkan situasi-situasi berikut ini:
a. Ketika seseorang menemukan dirinya (self-discovery).
Sa’di (seorang penyair besar dari Iran) menggerutu karena
kehilangan sepasang sepatunya di sebuah masjid di Damaskus. Namun di tengah
kejengkelannya itu ia melihat bahwa ada seorang penceramah yang berbicara
dengan senyum gembira. Kemudian tampaklah olehnya bahwa penceramah tersebut
tidak memiliki sepasang kaki. Maka tiba-tiba ia disadarkan, bahwa mengapa ia
sedih kehilangan sepatunya sementara ada orang yang masih bisa tersenyum walau
kehilangan kedua kakinya.
b. Makna muncul ketika seseorang menentukan
pilihan. Hidup menjadi tanpa makna ketika seseorang tak dapat memilih. Sebagai
contoh: seseorang yang mendapatkan tawaran kerja bagus, dengan gaji besar dan
kedudukan tinggi, namun ia harus pindah dari Semaran Singapura. Di satu sisi ia
mendapatkan kelimpahan materi namun di sisi lainnya ia kehilangan waktu untuk
berkumpul dengan anak-anak dan istrinya. Dia menginginkan pekerjaan itu namun
sekaligus punya waktu untuk keluarganya. Hingga akhirnya dia putuskan untuk
mundur dari pekerjaan itu dan memilih memiliki waktu luang bersama keluarganya.
Pada saat itulah ia merasakan kembali makna hidupnya.
c. Ketika seseorang merasa istimewa, unik dan
tak tergantikan. Misalnya: seorang rakyat jelata tiba-tiba dikunjungi oleh
presiden langsung di rumahnya. Ia merasakan suatu makna yang luar biasa dalam
kehidupannya dan tak akan tergantikan oleh apapun. Demikian juga ketika kita
menemukan seseorang yang mampu mendengarkan kita dengan penuh perhatian, dengan
begitu hidup kita menjadi bermakna.
d. Ketika kita dihadapkan pada sikap
bertanggung jawab. Seperti contoh di atas, seorang bendahara yang diserahi
pengelolaan uang tunai dalam jumlah sangat besar dan berhasil menolak
keinginannya sendiri untuk memakai sebagian uang itu untuk memuaskan
keinginannya semata. Pada saat itu si bendahara mengalami makna yang luar biasa
dalam hidupnya.
e. Ketika kita mengalami situasi transendensi
(pengalaman yang membawa kita ke luar dunia fisik, ke luar suka dan duka kita,
ke luar dari diri kita sekarang). Transendensi adalah pengalaman spiritual yang
memberi makna pada kehidupan kita.
Determinan
Persepsi
Di samping
faktor-faktor teknis seperti kejelasan stimulus [mis. suara yang jernih, gambar
yang jelas], kekayaan sumber stimulus [mis. media multi-channel seperti
audio-visual], persepsi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis. Faktor
psikologis ini bahkan terkadang lebih menentukan bagaimana informasi / pesan /
stimulus dipersepsikan.
Faktor yang sangat dominan adalah faktor ekspektansi dari si penerima
informasi sendiri. Ekspektansi ini memberikan kerangka berpikir atau perceptual
set atau mental set tertentu yang menyiapkan
seseorang untuk mempersepsi dengan cara tertentu. Mental set ini dipengaruhi
oleh beberapa hal.
a.
Ketersediaan
informasi sebelumnya; ketiadaan
informasi ketika seseorang menerima stimulus yang baru bagi dirinya akan
menyebabkan kekacauan dalam mempersepsi. Oleh karena itu, dalam bidang
pendidikan misalnya, ada materi pelajaran yang harus terlebih dahulu
disampaikan sebelum materi tertentu. Seseorang yang datang di tengah-tengah
diskusi, mungkin akan menangkap hal yang tidak tepat, lebih karena ia tidak
memiliki informasi yang sama dengan peserta diskusi lainnya. Informasi juga dapat
menjadi cues untuk mempersepsikan sesuatu.
b.
Kebutuhan; seseorang akan cenderung
mempersepsikan sesuatu berdasarkan kebutuhannya saat itu. Contoh sederhana,
seseorang akan lebih peka mencium bau masakan ketika lapar daripada orang lain
yang baru saja makan.
c.
Pengalaman masa
lalu; sebagai hasil
dari proses belajar, pengalaman akan sangat mempengaruhi bagaimana seseorang
mempersepsikan sesuatu. Pengalaman yang menyakitkan ditipu oleh mantan pacar,
akan mengarahkan seseorang untuk mempersepsikan orang lain yang mendekatinya
dengan kecurigaan tertentu. Contoh lain yang lebih ekstrim, ada orang yang
tidak bisa melihat warna merah [dia melihatnya sebagai warna gelap, entah hitam
atau abu-abu tua] karena pernah menyaksikan pembunuhan. Di sisi lain, ketika
seseorang memiliki pengalaman yang baik dengan bos, dia akan cenderung
mempersepsikan bosnya itu sebagai orang baik, walaupun semua anak buahnya yang
lain tidak senang dengan si bos.
Faktor psikologis lain yang juga penting
dalam persepsi adalah berturut-turut: emosi, impresi dan konteks.
a.
Emosi; akan mempengaruhi seseorang dalam
menerima dan mengolah informasi pada suatu saat, karena sebagian energi dan
perhatiannya [menjadi figure] adalah emosinya tersebut.
Seseorang yang sedang tertekan karena baru bertengkar dengan pacar dan
mengalami kemacetan, mungkin akan mempersepsikan lelucon temannya sebagai
penghinaan.
b.
Impresi; stimulus yang salient
/ menonjol, akan lebih dahulu mempengaruhi persepsi seseorang. Gambar yang
besar, warna kontras, atau suara yang kuat dengan pitch
tertentu, akan lebih menarik seseorang untuk memperhatikan dan menjadi fokus
dari persepsinya. Seseorang yang memperkenalkan diri dengan sopan dan
berpenampilan menarik, akan lebih mudah dipersepsikan secara positif, dan
persepsi ini akan mempengaruhi bagaimana ia dipandang selanjutnya.
c.
Konteks; walaupun faktor ini disebutkan
terakhir, tapi tidak berarti kurang penting, malah mungkin yang paling penting.
Konteks bisa secara sosial, budaya atau lingkungan fisik. Konteks memberikan ground
yang sangat menentukan bagaimana figure dipandang. Fokus pada figure
yang sama, tetapi dalam ground yang berbeda, mungkin akan
memberikan makna yang berbeda.
Prinsip pengorganisasian Visual
Untuk mempersepsi
stimulus mana menjadi figure dan mana yang ditinggalkan sebagai ground, ada
beberapa prinsip pengorganisasian.
A. Prinsip proximity (kedekatan); seseorang cenderung mempersepsi
stimulus-stimulus yang berdekatan sebagai satu kelompok.
Contoh visual
Pada contoh ini, seseorang akan cenderung
melihat ada dua kelompok gambar titik merah dibandingkan dengan ada 4 lajur
titik.
Sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari, kebanyakan orang akan
mempersepsikan beberapa orang yang sering terlihat bersama-sama sebagai sebuah
kelompok / peer group. Untuk orang yang tidak mengenal dekat anggota “kelompok”
itu, bahkan akan tertukar identitas satu dengan yang lainnya, karena
masing-masing orang [sebenarnya ada 4 lajur titik] terlabur identitasnya dengan
keberadaan orang lain [dipersepsi sebagai 2 kelompok titik].
B. Prinsip similarity (kesamaan); seseorang akan cenderung
mempersepsikan stimulus yang sama sebagai satu kesatuan.
Contoh visual
Pada gambar
ini, walaupun jarak antar titik sama, tetapi orang cenderung mempersepsi bahwa
terdapat dua kelompok / lajur titik [yaitu titik yang berwarna merah dan titik
yang berwarna biru] dibandingkan empat lajur titik.
C. Prinsip continuity; prinsip ini menunjukkan bahwa kerja otak manusia secara alamiah
melakukan proses melengkapi informasi yang diterimanya walaupun sebenarnya
stimulus tidak lengkap.
Contoh visual
Pada gambar
ini, seseorang cenderung untuk mempersepsikan bahwa ada dua garis yang
bersilang membentuk huruf “X”, alih-alih melihatnya sebagai kumpulan
titik-titik.
Dalam kehidupan sehari-hari, contohnya
adalah fenomena tentang bagaimana gosip bisa begitu berbeda dari fakta yang
ada. Fakta yang diterima sebagai informasi oleh seseorang, kemudian diteruskan
ke orang lain setelah
“dilengkapi” dengan informasi lain yang
dianggap relevan walaupun belum menjadi fakta atau tidak diketahui faktanya.
PSIKOGRAFI
Gaya hidup = bagaimana seseorang menghabiskan waktu dan uangnya
Klasifikasi gaya hidup berdasarkan:
-
Activities (aktivitas)
-
Interests (minat)
-
Opinions (pandangan-pandangan)
Bagaimana mereka menghabiskan waktunya?
-
Apa minat mereka? Apa yang mereka anggap penting di
sekitarnya?
-
Apa pandangan mereka terhadap diri sendiri maupun orang
lain?
-
Apa karakter-karakter dasar mereka (life cycle,
penghasilan, pendidikan, tempat tinggal)?
Tiga kelompok besar segmen psikografi:
-
Pleasure - Achievement factor
Kualitas
kerja keras seseorang.
-
Follower - Commander factor
Peranan
seseorang dalam kelompoknya.
-
Low Profile - High Profile factor
Tingkat
keinginan seseorang untuk mencari perhatian.
Segmen perilaku gaya hidup masyarakat perkotaan Indonesia:
a.
The
Affluent (15%):
pekerja keras, percaya diri, inovatif, proaktif dan berani ambil resiko. Senang
mencari perhatian dan menyukai kehidupan dinamis. Terbuka
pada hal-hal baru, memiliki kemampuan mempengaruhi orang lain.
b.
The
Achievers (14%):
kemampuan memimpin, kurang suka mencari perhatian. Mengkonsumsi
barang-barang fungsional. Keputusan rasional, tidak mudah menerima gagasan
baru.
c.
The
Anxious (6%):
sikap sebagai follower,
ambisius. Rasa percaya diri kuat, kurang memiliki keberanian. Mudah
dipengaruhi.
d.
The
Loners (10%):
senang menyendiri, kurang berani tampil, individualistik.
e.
The
Socialite (11%):
senang bergaul, bersosialisasi dengan orang lain, pengambil resiko yang berani
namun kurang rasional. Senang ingin menguasai orang lain, senang menonjolkan
diri. Reaktif terhadap perubahan-perubahan dan bersifat impulsif.
f.
The
Pusher (6%):
tidak ingin diperhatikan namun ingin mendominasi tapi tanpa arah jelas. Tidak
memiliki tujuan jelas namun suka mengontrol orang lain. Tidak mudah menerima
hal-hal baru.
g.
The Attention Seeker (17%):
ingin menarik perhatian, senang membeli barang baru untuk menarik perhatian
orang lain, impulsif dan tidak rasional. Mudah dibujuk secara emosional dan
cenderung followers.
h.
Pleasure
Seekers (20%):
ingin mencapai sesuatu tujuan tanpa bekerja terlalu keras. Individualis, kurang
senang sosialisasi, tapi suka mengikuti tren. Tidak punya prinsip kuat meski
tidak menghendaki perubahan-perubahan.
Seorang peneliti bernama Susianto pada tahun 1993
memetakan 6 segmen gaya hidup remaja di Jakarta:
a.
Hura-hura (9%) - kelompok
yang menyukai kegiatan hura-hura. Tidak terlalu serius terlibat dalam sesuatu
hal. Sebagian besar adalah pria yang senang ‘keramaian kota’.
b.
Hedonis (2%) -
kelompok yang mengarahkan aktivitasnya untuk mencari kenikmatan hidup semata.
Menyenangi kegiatan di luar rumah dan membeli barang-barang mahal untuk
kesenangan.
c.
Rumahan (23%) - adalah
mereka yang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Berorientasi pada
keluarga dan selektif dalam menghabiskan uang sakunya.
d.
Sportif (21%) - adalah
mereka yang menyukai olah raga dan prestasi di bidang olah raga. Bukan tipe
pesolek dan terbuka pada situasi.
e.
Kebanyakan (30%) - tipe
umum yang paling banyak ditemui, berhati-hati dalam bertindak, konformis,
kurang berani menjadi inisiator.
f.
Orang untuk orang lain (15%) -
kelompok yang peka terhadap kebutuhan orang lain, dapat diandalkan, bersikap
sosial, produktif, mengutamakan kebersamaan dalam keluarga.
Riset Global Scan oleh Biro Riset Backer Spielvogel &
Bates Worldwide (BSB) pada tahun 1985. Memetakan perilaku konsumen di 18 negara
(Australia, Belgia, Kanada, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Belanda,
Hongkong, Italia, Jepang, Meksiko, Norwegia, Spanyol, Swedia, Inggris, Amerika
Serikat dan Venezuela).
a.
Strivers (Pekerja
Keras) (26%) - muda usia, sibuk, hidup di bawah tekanan waktu,
pekerja keras, materialistis, mencari kesenangan hidup, menginginkan imbalan
instan.
b.
Achievers (Pemburu
Sukses) (22%) - usia lebih tua dibanding strivers, hidup sejahtera, agak
sombong dan ‘tinggi’ perilakunya, sadar kelas dan kualitas, trendsetter.
c.
Pressured (Orang-orang
yang tertekan) (13%) - penghasilan tetap, beban keluarga yang besar, tidak
memiliki kesempatan menikmati hidup.
d.
Adapters (Pencocok) (18%)
- mereka yang selalu merasa cocok dengan lingkungannya,
tidak mudah mengeluh, selalu menyesuaikan dengan perubahan, bersikap terbuka,
tidak mudah terkejut.
e.
Traditionals (16%) -
mempertahankan nilai-nilai lama di daerahnya masing-masing, enggan pada hal-hal
baru, enggan berubah, menyukai produk yang sudah dikenal, konservatif, terikat
pada masa lalu.
Daftar pustaka
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi
Komunikasi, Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001
Danah Zohar dan Ian Marshall (terj.), SQ
– Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik
untuk Memaknai Hidup, Penerbit Mizan, Bandung, 2000
Bradley Steffens, Ibn al-Haytham:
First Scientist, Morgan Reynolds Publishing, 2006
Jalaluddin Rakhmat dalam Danah Zohar, SQ – Memanfaatkan Kecerdasan
Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Hidup,
Mizan, Jakarta, 2000.
Damajanti, Irma, Psikologi
Seni, Penerbit Kiblat, Bandung, 2006
Sobur, Alex, Psikologi
Umum, Pustaka Setia, Bandung, 2003
www.gogorbangsa.wordpress.com